JAKARTA - Tekanan harga nikel global dalam beberapa tahun terakhir menjadi perhatian serius pemerintah.
Kelebihan pasokan membuat nilai komoditas ini terus tertekan di pasar internasional. Kondisi tersebut dinilai kurang sejalan dengan posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia.
Indonesia menguasai sekitar 42 persen cadangan nikel global. Peran strategis itu menuntut pengelolaan produksi yang lebih terukur. Salah satu langkah yang direncanakan adalah pemangkasan produksi nikel hulu pada 2026.
Kebijakan ini diharapkan mampu memperbaiki keseimbangan pasokan dan permintaan. Pemerintah menilai pengendalian produksi dapat membantu pemulihan harga. Langkah tersebut sekaligus menjadi refleksi arah industri nasional.
Risiko di Balik Rencana Pemangkasan
Rencana pemangkasan produksi nikel bukan tanpa tantangan. Sejumlah smelter masih dalam tahap pembangunan dan dijadwalkan beroperasi pada 2026. Kondisi ini membutuhkan kepastian pasokan bijih secara berkelanjutan.
Di sisi lain, smelter dalam negeri justru mengalami kekurangan bahan baku. Dalam dua tahun terakhir, kebutuhan tersebut bahkan harus dipenuhi melalui impor. Situasi ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan di sektor hulu dan hilir.
Kelebihan pasokan produk nikel olahan di pasar global berbanding terbalik dengan kondisi domestik. Smelter yang tumbuh pesat menghadapi keterbatasan pasokan bijih. Hal ini menjadi ironi dalam kebijakan hilirisasi.
Tren Produksi dan Dampak Hilirisasi
Produksi bijih nikel Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023 tercatat sebesar 220 juta ton, lalu naik menjadi 240 juta ton pada 2024. Pada 2025, realisasi produksi mencapai 265 juta ton.
Angka tersebut masih berada di bawah RKAB yang disetujui sebesar 326 juta ton. Lonjakan target produksi tidak lepas dari dorongan kebijakan hilirisasi. Sejak larangan ekspor bijih nikel pada 2020, aktivitas penambangan meningkat signifikan.
Smelter untuk stainless steel tumbuh pesat, disusul smelter baterai kendaraan listrik. Peningkatan kapasitas pengolahan mendorong kebutuhan bahan baku. Akibatnya, tekanan terhadap sektor hulu semakin besar.
Pandangan Ahli terhadap Kebijakan Produksi
Pemangkasan produksi dinilai sebagai langkah tepat untuk menjaga keseimbangan pasar. Harga nikel belum menunjukkan sinyal penguatan dalam waktu dekat. Pengurangan produksi dianggap dapat menahan laju eksploitasi yang terlalu masif.
Eksploitasi nikel yang berlebihan juga memunculkan kekhawatiran lingkungan. Isu kerusakan alam semakin sering mencuat seiring meningkatnya aktivitas tambang. Pengendalian produksi dinilai dapat memberi ruang pemulihan lingkungan.
Namun, keberlanjutan pasokan untuk smelter tetap harus dijaga. Keseimbangan antara pengurangan produksi dan kebutuhan industri menjadi kunci. Tata niaga dan pengaturan jenis bijih perlu diperhatikan secara cermat.
Tantangan Kapasitas Smelter Nasional
Kapasitas terpasang smelter nikel nasional telah melampaui 2,5 juta ton. Sebagian besar berasal dari jalur produksi stainless steel dan baterai kendaraan listrik. Angka ini diproyeksikan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.
Sejumlah proyek smelter masih dalam tahap konstruksi. Pada 2027, kapasitas diperkirakan naik menjadi 3,3 juta ton. Peningkatan ini otomatis menambah kebutuhan bahan baku bijih nikel.
Pembatasan produksi tanpa perhitungan matang berpotensi menimbulkan kesenjangan pasokan. Jika pasokan berkurang sementara kapasitas bertambah, industri akan terdampak signifikan. Dampaknya bisa merembet ke tenaga kerja dan investasi.
Arah Kebijakan dan Pengendalian Produksi
Pemerintah memastikan pemangkasan produksi akan diterapkan pada 2026. Kebijakan ini bertujuan mengatur kembali pasokan dan permintaan. Harapannya, harga nikel dapat kembali bergerak naik.
RKAB dijadikan instrumen utama untuk pengendalian produksi. Perusahaan yang tidak taat aturan akan dievaluasi. Disiplin industri dan perlindungan lingkungan menjadi fokus utama.
Pengendalian ini juga diarahkan untuk menjaga pendapatan negara. Pemerintah ingin pengusaha memperoleh harga yang layak. Negara pun diharapkan mendapat penerimaan optimal.
Pelajaran bagi Industri Nikel Nasional
Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi tata kelola nikel nasional. Penyusunan peta jalan industri yang lebih komprehensif dinilai mendesak. Pengembangan industri turunan perlu terus didorong.
Nilai tambah yang lebih tinggi menjadi tujuan utama hilirisasi. Selain itu, penguatan teknologi menjadi kebutuhan strategis. Perkembangan teknologi alternatif turut memengaruhi permintaan nikel.
Teknologi baterai baru membuat harga nikel tertekan. Oleh karena itu, inovasi perlu dipercepat agar nikel tetap relevan. Dengan demikian, permintaan dan harga dapat terjaga.
Potensi Dampak dan Opsi Penyesuaian
Jika produksi dibatasi pada 250 juta ton, potensi kesenjangan pasokan bisa mencapai 100 juta ton. Opsi impor memang tersedia, tetapi biayanya lebih mahal. Hal ini berisiko menekan daya saing industri.
Perusahaan pengolahan umumnya melakukan penyesuaian. Langkah tersebut meliputi pengurangan produksi atau percepatan pemeliharaan. Namun, setiap opsi membutuhkan biaya tambahan.
Stabilitas rantai pasok menjadi kunci keberlanjutan industri. Investasi besar yang telah ditanamkan perlu dijaga. Kepastian bahan baku menentukan masa depan industri nikel nasional.