Hilirisasi Nikel Dorong Indonesia Jadi Pemimpin Industri Energi Bersih Global
- Kamis, 13 November 2025
JAKARTA - Dulu, nikel dianggap logam pengganggu yang tak bernilai.
Kini, perannya justru menjadi pusat perhatian dunia karena menjadi komponen utama dalam transisi menuju energi bersih. Dari material yang kerap diremehkan, nikel menjelma menjadi elemen penting di balik revolusi kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Perjalanan panjang logam ini bermula dari temuan ilmuwan Swedia, Axel Fredrik Cronstedt, pada 1751. Dari situlah, nikel dikenal sebagai bahan baku baja tahan karat yang digunakan untuk membangun jembatan, pesawat tempur, dan peralatan industri berat.
Baca JugaIndustri Otomotif RI Terus Tumbuh, Jadi Motor Penggerak Ekonomi Nasional
Namun, titik balik sesungguhnya terjadi di abad ke-21 ketika dunia beralih menuju kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Kendaraan listrik memerlukan baterai lithium-ion, dan nikel menjadi bagian utama dalam katodanya. Kandungan nikel yang tinggi memungkinkan penyimpanan energi lebih besar dan jarak tempuh lebih jauh.
Seiring meningkatnya produksi kendaraan listrik global, permintaan terhadap nikel melonjak drastis. International Energy Agency (IEA) memperkirakan kebutuhan nikel dunia akan naik dari 3,3 juta ton pada 2023 menjadi 6,2 juta ton pada 2040.
Ledakan permintaan ini bukan hanya mengubah industri energi, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di panggung global.
Indonesia, Raksasa Baru di Pusat Revolusi Hijau
Indonesia kini dikenal sebagai produsen nikel terbesar di dunia, baik dalam sektor penambangan maupun pemurnian. Berdasarkan data IEA, pada 2030 Indonesia akan memasok 62 persen produksi global dan 44 persen kapasitas pemurnian nikel dunia.
Dengan cadangan mencapai 55 juta ton, sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, negeri ini menjadi tulang punggung baru transisi energi dunia.
Kesadaran akan potensi strategis itu mendorong pemerintah untuk mengakhiri ekspor bijih nikel mentah pada 2020 melalui kebijakan hilirisasi. Langkah berani ini menunjukkan tekad Indonesia agar nilai tambah komoditas berada di dalam negeri.
Presiden Jokowi sempat menegaskan bahwa hilirisasi adalah jalan menuju kemandirian ekonomi nasional. Setelahnya, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo melanjutkan kebijakan ini dengan mengalokasikan investasi hingga USD 45 miliar demi memperkuat rantai industri logam.
Kebijakan itu memantik lonjakan investasi asing di sektor logam dasar. Kementerian Investasi mencatat nilai investasi nikel mencapai Rp94,1 triliun hanya pada semester pertama 2025.
Kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara kini mempekerjakan lebih dari 160.000 tenaga kerja.
Hilirisasi nikel kini menjadi simbol industrialisasi modern: dari tambang menuju pabrik baterai, hingga ke produksi kendaraan listrik.
Dari Tambang ke Teknologi Hijau
Namun, industrialisasi besar-besaran membawa tantangan baru. Produksi nikel yang masif menyerap energi dan berpotensi mencemari lingkungan. Dunia internasional mulai menyoroti Indonesia dengan label “dirty nickel,” atau nikel yang dihasilkan dengan energi fosil.
Menanggapi hal itu, pemerintah bersama BUMN pertambangan melalui MIND ID mulai menerapkan praktik tambang rendah emisi. PT Antam dan PT Vale Indonesia mengembangkan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL), yang mampu mengolah bijih nikel kadar rendah dengan limbah minimal.
Langkah lain dilakukan melalui pemanfaatan energi terbarukan. PT Vale, misalnya, menggunakan tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona, Balambano, dan Karebbe untuk mendukung produksi nikel yang ramah lingkungan.
Pemerintah juga memperluas skema Renewable Energy Certificate (REC) agar perusahaan tambang dapat menggunakan energi hijau. Selain itu, limbah nikel (slag) kini mulai dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi yang lebih ramah lingkungan, membuka peluang ekonomi sirkular di sektor tambang.
Transformasi ini menjadi bukti bahwa hilirisasi nikel tak hanya soal industri, tetapi juga bagian dari komitmen menuju energi bersih dan masa depan berkelanjutan.
Menuju Ekonomi Hijau dan Kemandirian Industri Nasional
Indonesia kini sedang menata ulang peran strategisnya dalam rantai pasokan global. Tujuannya bukan sekadar menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga menjadi produsen logam hijau yang bernilai tinggi. Upaya ini menjadikan Indonesia sebagai pemain penting dalam ekonomi hijau dunia.
Perubahan besar ini menandai arah baru pembangunan nasional: menggabungkan kekuatan sumber daya alam, inovasi teknologi, dan kesadaran lingkungan. Dengan investasi besar, kerja sama global, serta penerapan teknologi rendah emisi, Indonesia membangun fondasi kuat menuju kemandirian industri yang berkelanjutan.
Kisah nikel Indonesia adalah kisah tentang transformasi dan keberanian. Dari logam yang dulu dianggap tak berguna, kini menjadi fondasi ekonomi hijau dunia.
Di tengah revolusi energi global, Indonesia berdiri tegak sebagai penjaga masa depan bersih memastikan bahwa kekayaan alam tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga warisan hijau bagi generasi mendatang.
Alif Bais Khoiriyah
wartafinansial.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Meninggalkan Kesalahan Finansial Demi Mewujudkan Kondisi Keuangan Lebih Sehat
- Rabu, 24 Desember 2025
Berita Lainnya
Mentan Tegaskan Harga Pangan Tetap Stabil Menjelang Natal dan Tahun Baru
- Jumat, 19 Desember 2025
Penyesuaian Harga BBM Pertamina Resmi Diberlakukan Serentak di Seluruh Indonesia
- Jumat, 19 Desember 2025
Petani Sawit Sumbar Kembali Optimistis Setelah Harga TBS Mengalami Penguatan
- Jumat, 19 Desember 2025
Terpopuler
1.
17 Makanan Khas Kalimantan Barat Terkenal Enak & Wajib Dicoba
- 23 Desember 2025
2.
3.
15 Rekomendasi Kado untuk Ibu Guru yang Berkesan, Mana Pilihanmu?
- 22 Desember 2025
4.
Top 10 Tempat Wisata di Semarang yang Wajib Dikunjungi
- 22 Desember 2025
5.
8 Aplikasi Gratis Transfer Uang 2025, Bebas Admin ke Semua Bank
- 22 Desember 2025












