
JAKARTA - Harga kopi dunia kembali menanjak dalam beberapa minggu terakhir, dipicu oleh kombinasi faktor alam dan perdagangan internasional. Lonjakan harga terutama disebabkan kenaikan tarif kopi Vietnam dan Brasil ke Amerika Serikat (AS) yang berdampak pada biaya impor global.
Data Refinitiv mencatat kontrak berjangka kopi Arabica (kode KCc1) ditutup pada level US$400,05 per pon, setara Rp 6,55 juta per pon atau Rp 14,43 juta per kilogram. Angka tersebut menunjukkan penguatan tipis dibanding sehari sebelumnya, meski masih jauh lebih tinggi dibanding awal Agustus yang berada di kisaran US$290 per pon.
Lonjakan harga kopi ini menegaskan betapa sensitifnya pasar global terhadap gangguan pasokan dari negara produsen utama. Cuaca ekstrem di Brasil dan Vietnam, produsen kopi terbesar dunia, memangkas produksi secara signifikan. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan tarif tinggi AS, yang semakin membebani harga impor kopi.
Baca Juga
Faktor Eksternal Pengaruh Pasar
Sejak awal Agustus, harga kopi global telah meningkat lebih dari 40%, dari US$284,2 per pon menjadi sekitar US$400 per pon pada 11 September 2025. Harga kopi bubuk di AS bahkan mencapai US$8,41 per pon pada Juli, naik 33% dibanding tahun sebelumnya, mencatatkan rekor tertinggi dalam lima dekade terakhir.
Hal ini menunjukkan rapuhnya rantai pasok kopi global, terutama ketika terjadi “drought-flood whiplash” atau pergantian musim kering panjang disusul hujan deras, yang mengganggu kualitas dan kuantitas panen di Brasil, penyumbang 40% pasokan kopi dunia.
Tarif tinggi yang diberlakukan AS – 50% untuk kopi Brasil dan 20% untuk kopi Vietnam semakin memperburuk lonjakan harga. Banyak kedai kopi di AS pun menaikkan harga jual, mencerminkan dampak langsung kebijakan perdagangan pada konsumen.
Fenomena ini menegaskan rapuhnya rantai pasok kopi global dan menunjukkan bahwa setiap gangguan di produsen utama dapat langsung mengguncang pasar dunia.
Dampak dan Peluang untuk Indonesia
Bagi Indonesia, situasi ini memberikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, sebagai produsen kopi Robusta terbesar kedua dunia setelah Vietnam, peluang ekspor terbuka lebar.
Lonjakan harga kopi dunia berpotensi menjadi angin segar bagi petani di Lampung, Sumatra Selatan, dan Sulawesi, mendorong pendapatan mereka. Produksi robusta diperkirakan mencapai 9,8 juta kantong pada 2025, dengan 75% ditanam di dataran rendah Sumatra Selatan dan Jawa.
Namun, di sisi lain, tarif tinggi AS terhadap kopi Indonesia sebesar 19% menjadi hambatan bagi ekspor. Kenaikan harga global juga berpotensi mendorong harga kopi di pasar domestik, sehingga konsumen lokal bisa merasakan dampaknya.
Meski ada harapan harga mereda seiring perbaikan cuaca dan investasi produktivitas, risiko jangka panjang tetap tinggi karena konsumsi global terus meningkat dan perubahan iklim diprediksi makin ekstrem.
Pertumbuhan Produksi Global Terbatas
Departemen Pertanian AS memperkirakan produksi kopi dunia untuk 2025/26 meningkat tipis, yakni 2,47% atau 4,3 juta kantong menjadi 178,7 juta kantong. Pertumbuhan ini menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir.
Kenaikan produksi didorong oleh pemulihan di Vietnam dan Indonesia serta rekor produksi di Ethiopia. Ekspor biji kopi global diproyeksikan meningkat 700.000 kantong menjadi 122,3 juta, dengan tambahan dari Vietnam, Ethiopia, dan Indonesia yang lebih dari cukup menutupi penurunan produksi di Brasil dan Kolombia.
Sementara itu, konsumsi global diperkirakan mencapai rekor 169,4 juta kantong, sehingga persediaan akhir tetap ketat di level 22,8 juta kantong.
Strategi Indonesia Memanfaatkan Momentum
Indonesia menyiapkan langkah strategis untuk memanfaatkan kenaikan harga kopi dunia. Produksi kopi Arabika diproyeksikan naik tipis menjadi 1,5 juta kantong. Lonjakan ini diharapkan mendorong ekspor biji kopi naik 400.000 kantong menjadi 6,5 juta, sekaligus meningkatkan pendapatan petani dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Strategi hilirisasi juga menjadi fokus, dengan mendorong pengolahan kopi menjadi bubuk dan produk olahan lainnya, sehingga nilai tambah lebih tinggi didapatkan. Hal ini sekaligus mengurangi ketergantungan pada ekspor biji mentah dan memperkuat rantai pasok domestik.
Tantangan Iklim dan Pasar Global
Meskipun prospek harga menguntungkan, risiko tetap tinggi. Perubahan iklim ekstrem dapat menimbulkan gangguan panen lebih lanjut. Stok inventori kopi global saat ini berada di level rendah, membuat pasar sangat sensitif terhadap guncangan baru.
Analis memperingatkan, jika gangguan cuaca kembali terjadi, harga kopi dunia bisa melonjak lebih tajam dari perkiraan.
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan petani menjadi kunci menjaga produksi, kualitas, dan distribusi kopi tetap optimal. Strategi ini diharapkan tidak hanya menjamin pasokan domestik, tetapi juga meningkatkan daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
Harga kopi dunia yang meningkat menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap faktor cuaca dan kebijakan perdagangan. Indonesia memiliki peluang besar memanfaatkan situasi ini, khususnya sebagai produsen kopi Robusta terbesar kedua dunia.
Dengan strategi ekspor, peningkatan produktivitas, dan hilirisasi produk kopi, Indonesia dapat memaksimalkan keuntungan, menjaga kesejahteraan petani, dan memperkuat posisi di pasar kopi global.

Alif Bais Khoiriyah
wartafinansial.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Pemerintah Tingkatkan 25 Ribu Rumah KPR Subsidi Tahun Ini
- 17 September 2025
2.
Gaya Hidup Modern Dorong Masyarakat Pilih Belanja Praktis Online
- 17 September 2025
3.
4.
5.
Toyota bZ7 Tawarkan Desain Modern dan Fitur Mobil Listrik Pintar
- 17 September 2025