JAKARTA - Indonesia memiliki peluang besar menjadikan energi panas bumi sebagai tulang punggung pengembangan energi baru terbarukan.
Potensi panas bumi nasional mencapai 23,74 gigawatt seiring posisi geografis Indonesia di jalur ring of fire. Besarnya potensi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai potensi tersebut seharusnya menjadi kekuatan utama transisi energi. Menurutnya, panas bumi dapat berperan sebagai motor penggerak pengembangan EBT nasional. Namun hingga kini, pemanfaatan sumber energi ini dinilai belum optimal.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi dan realisasi. Energi panas bumi masih menghadapi berbagai tantangan struktural. Padahal, kontribusinya sangat dibutuhkan untuk mendukung target energi bersih nasional.
Tantangan Infrastruktur dan Investasi
Fahmy Radhi menyebut salah satu kendala utama pengembangan panas bumi adalah infrastruktur. Banyak lokasi panas bumi berada di wilayah terpencil dengan akses terbatas. Ketersediaan jalan, jaringan listrik, dan fasilitas pendukung masih menjadi tantangan.
Ia menegaskan dukungan pemerintah menjadi faktor penting dalam percepatan pengembangan panas bumi. Menurutnya, pembangunan infrastruktur dasar tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada investor. Jika infrastruktur telah tersedia, minat investor akan meningkat secara signifikan.
“Indonesia memiliki potensi panas bumi yang besar dan ini bisa menjadi kekuatan. Tetapi hingga saat ini belum dioptimalkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, seperti ketersediaan infrastruktur untuk menuju ke lokasi panas bumi,” kata Fahmy. Pernyataan ini menegaskan perlunya peran negara dalam tahap awal pengembangan.
Target Panas Bumi dalam RUPTL
Pemerintah telah menetapkan arah pengembangan EBT melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam periode perencanaan tersebut, ditargetkan penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 42,5 gigawatt. Selain itu, pembangunan penyimpanan energi juga direncanakan mencapai 10,2 gigawatt.
Sekitar 70 persen dari total penambahan kapasitas tersebut ditargetkan berasal dari energi terbarukan. Untuk panas bumi, pemerintah mengalokasikan tambahan kapasitas sebesar 5,2 gigawatt. Proyeksi kapasitas terpasang panas bumi ditargetkan mencapai 1,1 gigawatt pada 2029.
Namun realisasi bauran EBT secara keseluruhan masih tertinggal dari target. Bauran EBT nasional sepanjang 2024 baru mencapai 14,68 persen. Angka ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah.
Realisasi EBT Masih Tertinggal
Hingga Oktober 2025, kapasitas listrik berbasis energi bersih tercatat baru mencapai 14,4 persen. Kondisi ini menunjukkan lambatnya penetrasi EBT dalam sistem kelistrikan nasional. Target bauran listrik EBT sebesar 15,9 persen dinilai sulit tercapai.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Tri Winarno menyampaikan tantangan tersebut mencerminkan besarnya potensi EBT yang belum tergarap. Sistem kelistrikan nasional masih didominasi energi fosil, terutama batu bara. Ketergantungan ini menjadi hambatan utama transisi energi.
“Kalau dibebankan sepenuhnya kepada investor, modal yang dibutuhkan akan sangat besar. Jika infrastrukturnya sudah tersedia, maka akan menarik investor untuk menggali potensi panas bumi kita,” ujar Fahmy. Pernyataan ini kembali menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam membuka jalan investasi.
Pelajaran dari Pengembangan di Amerika Serikat
Di tingkat global, pemanfaatan panas bumi terus mengalami perkembangan pesat. Amerika Serikat tercatat sebagai negara dengan kapasitas terpasang panas bumi terbesar di dunia. Total kapasitasnya mencapai 3,93 gigawatt.
Energi panas bumi semakin diminati karena mampu menyediakan listrik secara stabil dan berkelanjutan. Tidak seperti energi surya dan angin yang bergantung cuaca, panas bumi dapat beroperasi tanpa henti. Karakteristik ini membuatnya menarik bagi sektor industri dan teknologi.
Perusahaan teknologi besar seperti Google dan Meta memanfaatkan energi panas bumi untuk mendukung pusat data. Google bahkan mengembangkan teknologi panas bumi tingkat lanjut sebagai sumber listrik operasional. Langkah ini sejalan dengan komitmen pengurangan emisi karbon jangka panjang.