Kebangkitan Otomotif EV Cina Dorong Transformasi Industri Indonesia

Selasa, 16 September 2025 | 12:24:56 WIB
Kebangkitan Otomotif EV Cina Dorong Transformasi Industri Indonesia

JAKARTA - Kehadiran kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) asal Cina kini menjadi sorotan utama di pasar otomotif Asia Tenggara. Indonesia muncul sebagai salah satu pasar paling strategis, di mana merek-merek Cina mampu mendominasi dengan cepat. 

Kebangkitan ini menghadirkan dilema sekaligus peluang bagi industri otomotif domestik: apakah transisi ini menjadi katalis transformasi atau justru menggeser sektor konvensional yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.

Tren Pasar EV di ASEAN

Di kawasan ASEAN-6, penjualan kendaraan ringan secara keseluruhan menurun 5,4% tahun lalu menjadi 3,28 juta unit. Meski demikian, adopsi EV justru meningkat dari 9% pada 2023 menjadi 13% pada 2024. Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh merek-merek Cina seperti BYD, Chery, dan Wuling. Fenomena ini paling nyata terlihat di Indonesia, di mana penjualan mobil secara keseluruhan turun 8,6% pada semester I-2025, tetapi produsen EV Cina justru mencatatkan pertumbuhan signifikan.

Asosiasi otomotif Gaikindo melaporkan bahwa 10 merek EV terlaris di Indonesia pada Maret 2025 seluruhnya berasal dari Cina, menandai dominasi yang jelas dan menggoyang posisi produsen Jepang yang selama ini menguasai pasar.

Kunci Dominasi Cina

Keunggulan merek Cina terletak pada kebijakan domestik yang mendukung. Beijing telah mengucurkan subsidi, insentif, dan dukungan industri EV selama lebih dari satu dekade, sehingga membentuk pasar dan skala produksi terbesar di dunia. EV sendiri lebih sederhana dibandingkan mobil bermesin pembakaran internal (ICE); motor listrik menggantikan mesin bensin, perangkat lunak mendorong inovasi, dan baterai menentukan biaya serta performa.

Sementara itu, produsen Jepang, Eropa, dan AS masih bertahan dengan teknologi hibrida atau hidrogen, sehingga ketika gelombang EV global datang, Cina sudah berada jauh di depan. Keunggulan ini kini terbawa ke Asia Tenggara, di mana merek-merek Cina menawarkan harga terjangkau, rantai pasok baterai terintegrasi, dan kemampuan berkembang cepat, ditambah hambatan politik yang lebih sedikit dan kedekatan geografis.

Investasi dan Persaingan di Indonesia

Indonesia menjadi pasar utama, seiring target penetrasi EV sebesar 20% pada 2025 dan cadangan nikel yang melimpah. BYD telah menanamkan investasi senilai US$1,3 miliar untuk membangun pabrik di Subang, Jawa Barat, dengan kapasitas 150.000 unit per tahun, serta menyerap 18.000 tenaga kerja pada akhir 2025.

Rival lain seperti GAC Aion dan Great Wall Motors juga masuk pasar dengan proyek yang berjalan. Pengalaman Thailand menjadi pelajaran, di mana kendaraan listrik Cina kini menguasai lebih dari 70% pasar domestiknya. Dominasi ini memicu persaingan harga ketat, menyingkirkan pemain lemah, dan memaksa pemasok kecil beradaptasi atau gulung tikar.

Implikasi “Cina Shock”

Fenomena ini disebut analis sebagai “Cina shock”. Pada 2024, EV dan produk murah Cina mencapai 1,4% dari total ekspor Tiongkok ke kawasan ASEAN, melampaui ekspor ke AS dan Uni Eropa. Tanpa pergeseran cepat menuju produksi komponen EV lokal, Indonesia berisiko mengikuti jejak Thailand, di mana pemasok lemah runtuh, dan pemain bertahan menghadapi tekanan berkelanjutan.

Strategi Indonesia Menghadapi Transformasi

Kunci keberlanjutan industri otomotif Indonesia adalah adaptasi. Proyeksi Gaikindo menunjukkan penjualan akan rebound menjadi 900.000 unit pada 2025, namun pertumbuhan didorong oleh adopsi EV yang terjangkau, bukan kendaraan ICE. Produsen tradisional Jepang tidak bisa lagi menganggap Indonesia sebagai benteng ICE ketika merek Cina mendominasi.

Prioritas pertama adalah memperluas infrastruktur pengisian daya dan menyesuaikan perencanaan kota agar mendukung mobilitas berbasis listrik. Pekerja yang terdampak ICE perlu pelatihan ulang, sementara kebijakan pemerintah sebaiknya menitikberatkan pada transfer teknologi, bukan sekadar perakitan kendaraan.

Kebijakan kandungan lokal 40% untuk EV adalah langkah awal, yang dapat ditingkatkan secara bertahap untuk memastikan integrasi domestik dalam rantai pasok EV. Kemitraan dengan pemain mapan dari Cina, AS, maupun Eropa mungkin tak terelakkan, sementara pemasok lokal perlu mengalihkan fokus ke sektor yang masih relevan seperti body kendaraan, ban, perakitan, dan produksi baterai.

Peluang Indonesia di Era EV

Dengan cadangan nikel dan mineral strategis, Indonesia memiliki kesempatan menjadi hub EV regional. Posisi ini memungkinkan negara mengambil peran selektif dalam rantai komponen global, memaksimalkan investasi asing sambil memastikan nilai tambah domestik.

Meskipun kebangkitan EV Cina membawa risiko bagi industri konvensional, respons tepat berupa kemitraan, investasi, dan inovasi membuka peluang bagi Indonesia tampil sebagai kekuatan otomotif regional. Tanpa langkah strategis, risiko tersingkir seperti yang dialami sebagian rantai pasok Thailand menjadi nyata. Namun, jika transisi dimanfaatkan dengan bijak, Indonesia dapat menegaskan posisi sebagai pemain utama di era kendaraan listrik.

Terkini

Cegah Masalah Gigi, Kemenkes Tingkatkan Kesadaran Publik

Selasa, 16 September 2025 | 15:49:54 WIB

Poco M7 Plus RAM 4GB Hadir Dengan Fitur Lengkap Performa Gacor

Selasa, 16 September 2025 | 15:49:52 WIB

Motorola Moto Pad 60 Series Hadir Dengan Fitur Premium

Selasa, 16 September 2025 | 15:49:49 WIB

5 Wisata Petualangan Susur Sungai Yogyakarta Nikmati Alam

Selasa, 16 September 2025 | 15:49:47 WIB